Selasa, 05 Februari 2013

Iming-iming laba dari investasi pohon jabon dan sengon

Iming-iming laba dari investasi pohon jabon dan sengon

Kontan Online
Oleh Handoyo, Dea Chadiza Syafina -

Investasi di sektor kehutanan makin marak. Selain sengon, jenis pohon yang sering menjadi pilihan investasi adalah jabon. Pohon jabon mirip dengan pohon jati namun mampu tumbuh lebih cepat. Kayu pohon ini konon cocok sebagai bahan baku industri kayu seperti plywood, pulp, dan juga kertas.

Salah satu perusahaan yang menawarkan investasi pohon jabon dan sengon adalah Timber Estate dari PT ASA Forestry. Timber ingin menjembatani masyarakat yang tidak mempunyai lahan.

Timber mulai menawarkan paket kerja sama sejak 2010 lalu. Ada tiga model investasi yang ditawarkan, yaitu Timber Estate Asistensi & Supervisi, Timber Estate Green Social, dan Timber Estate investasi murni.

Model pertama dengan nilai investasi Rp 15 juta sampai Rp 30 juta ditujukan untuk investor yang telah memiliki lahan. Karena itu model kerja samanya lebih kepada jasa perawatan.

Investasi model kedua menyesuaikan dengan jumlah pohon dengan harga Rp 35.000 sampai Rp 40.000 per pohon. Model ini biasanya datang dari warga desa dengan memanfaatkan lahan desa tidak produktif. Untuk perawatan dan pengelolaan dilakukan oleh empat pihak yakni masyarakat, investor, pemilik lahan, dan Timber.

Sedangkan model ketiga, investor hanya menyetorkan dana sebesar Rp 5 juta untuk luas lahan 500 m2 sampai Rp 70 juta untuk luas 1 hektare dengan 1.000 pohon sengon atau jabon. "Sedangkan seluruh pengelolaan kita yang jalankan," terang Rony Perdana Sidiq, Pemilik Timber Estate.

Rony berani menjanjikan keuntungan lumayan setelah investasi berjalan enam tahun. Rony mengklaim, tiap pohon yang dipanen akan dibeli oleh ASA Forestry. "Harganya sesuai dengan harga pasar pada saat penjualan," katanya.

Ia mengaku sudah ada 14 investor yang bergabung menjadi mitra usaha ini. Mitra ini berasal dari Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, Semarang, dan Surabaya.

Rony mengklaim, setelah enam tahun, dengan investasi Rp 5 juta, hasil bersih yang bisa diperoleh investor mencapai Rp 9 juta-Rp 15 juta. Investor yang mengambil paket investasi senilai Rp 70 juta, kata Rony, akan menanggung hasil bersih antara Rp 176 juta sampai Rp 318 juta setelah enam tahun. "Ini dengan asumsi harga kayu sekarang Rp 750.000-Rp 950.000 per m3," katanya.

Hasil bersih itu berasal dari hasil penjualan pohon dikurangi dengan biaya dan bagi hasil dengan pihak lain. Bagi investor Timber Estate Asistensi & Supervisi, hasil kebun dibagi untuk pemilik lahan yang merangkap investor dengan Timber Estate.

Sedangkan untuk model Timber Estate Green Social, hasil penjualan dibagi empat pihak yakni masyarakat, investor, pemilik lahan, dan Timber Estate. Adapun hasil Timber Estate investasi murni hanya dibagi dua antara investor dengan Timber.

Rony menguraikan, dari hasil penjualan kayu, investor paling tidak harus mengeluarkan dana lagi sebesar 10% dari netto penjualan untuk model Timber Estate Asistensi & Supervisi. Untuk model Timber Estate Green Social dan Timber Estate investasi murni setoran ke perusahaan sebesar 20% dari nilai jual neto.

Dalam proses kerja sama, antara investor dengan Timber harus menandatangani lembar kesepakatan. Menurut Rony, beberapa poin itu adalah kesepakatan menitipkan modal menjadi aset berupa pohon. Selain itu juga kesepakatan imbal jasa atau management fee yang harus disetorkan investor, serta rincian bagi hasil perkebunan.

Jaminan keamanan

Semua kesepakatan akan diteken di depan notaris. Rony menjamin, investor tidak perlu takut jika ada lahan yang di klaim pihak lain. Sebab, nantinya setiap pohon dan lahan memiliki barcode dan koordinat lokasi.

Walaupun begitu, pengamat agribisnis F Rahardi meragukan jaminan keamanan investasi semacam ini. Meski seluruh kesepakatan ditandatangani di hadapan notaris, tidak akan mampu menjamin kepastian bagi investor. "Notaris tugasnya hanya mencatat tetapi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban," tutur Rahardi.

Ia mengatakan, nanti jika terdapat hal yang merugikan, maka investor menjadi pihak yang paling lemah. Untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik tanah yang diinvestasikan itu didaftarkan dulu ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika hal tersebut tidak dilakukan, investor dalam posisi yang lemah. "Saya bukan menyatakan investasi ini tidak menjanjikan, melainkan tidak ada jaminan hukum yang valid," tandas Rahardi

Menurut Rahardi, jika investasi ditawarkan oleh perseorangan atau bukan perusahaan berbadan hukum maka tidak ada jaminan pasti bagi investor. Namun, jika investasi pohon ini ditawarkan oleh PT atau perusahaan berbadan hukum, maka sama saja dengan membeli saham. Sehingga perlu proses panjang, termasuk pendaftaran ke Direktorat Persero dan Badan Usaha Negara.

sumber tulisan dari kontan onlien dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar